Terhempas Badai Perceraian

                                      A short true story
Aku berjalan menyusuri jalanan yang kulewati setiap pulang sekolah. Kamis siang ini tak begitu terik,Aku masih semangat berjalan kaki,Aku baru sampai setengah perjalanan,masih jauh perjalanan yang harus ku tempuh. Sedangkan jarak sekolahku dengan rumahku mencapai 5 km. Tiba-tiba Paman Abu datang dan langsung mengajakku naik sepeda motor untuk pulang.
            Di rumah ku lihat ada seorang tamu,setelah aku masuk, ternyata tamu lelaki paruh baya itu adalah mang Rakim. Warga desa Bantarwaru yang juga ‘mantan’ tetanggaku. Ternyata mang Rakim datang untuk menjemputku. Ia diberi mandat oleh Uwa Wiwi untuk membawaku ke Bantarwaru. Di sana para anak dan cucu Alm. Nenek Saryamah berkumpul. Mang Rakim memberi tahu bahwa di sana akan diadakan acara peringatan atau tahlillan 2 tahun Alm Nenek Saryamah wafat.
            Desaku desa Petahunan ini terletak di pelosok kabupaten Banyumas, tepatnya di bukit kecamatan Pekuncen. Hanya Mang Rakim orang desa Bantarwaru yang tahu jalan menuju desaku. Sedangkan Desa Bantarwaru terletak di pelosok kecamatan Bantarkawung, Brebes. Sebelum aku berangkat, aku membuat surat izin tidak masuk sekolah dan menyelesaikan tugas pelajaran. Ibu memberiku pesan sebelum aku berangkat.
            “Sep, sepulang kamu dari sana, jangan mau pulang jika kamu tidak diantar ayahmu sampai kesini!”. Pesan Ibu padaku sebelum aku pergi.
            “Baiklah,Bu. Septi pergi dulu ya.”Sahutku.
            “Hati-hati Sep!” pesan Nenekku.
            “Iya, Assalamualaikum,” Jawabku sebelum keluar rumah Dan ku cium tangan Ibu.
            “Wa’alaikum salam. “ Jawab beliau.

∞   ∞
            Sejuta bayangan menghampiri pikiranku saat perjalanan menuju Bantarkawung. Terbayang bagaimana OSIS sepeninggal aku, Bagaimana keadaan dan raut wajah Ayah dan Uwa-ku sekarang. Lamunanku terbangun oleh mang Rakim, ia mengantuk dan memintaku menggantikannya mengemudikan sepeda motor. Lalu kususuri jalanan sepi nan berkelok-kelok  Bumiayu-Salem. Jalanan ini lama tak ku lewati. Perjalanan masih jauh, melewati jalan kecil yang rusak di samping Sungai Pamali Hulu. Kulihat riak airnya melambai-lambai menemaniku melaju. Ku berhentikan sepeda motor ini di depan sebuah rumah kecil, dengan pohon kelapa menjulang dan pohon mangga di depannya. Ya, aku telah sampai di rumah Alm. Nenek. Sudah bertahun-tahun ku tak mengunjungi rumah ini, tak banyak pemandangan yang berubah, hanya terlihat rumah ini beberapa bagiannya telah rapuh dan rusak, bahkan terkesan hampir roboh tak terawat.
            Ku lihat seorang pria berdiri di depan pintu, ia menatapku dan ku lihat sayup wajahnya membisu. Saat ku dekati, ia langsung memelukku dan menitihkan air mata. Ya… Dia Ayahku,ayahku, benar Ayahku! Entah apa saja yang ku rasakan saat berada dalam pelukannya, rasa rindu,sedih haru,benci dan dendam berkecamuk di hatiku. Hingga dua bola mata ini tak mampu lagi tuk berdusta. Ya.. aku turut meneteskan air mata, aku tak bisa berbohong, aku sangat merindukannya. Tak sekecappun ku mampu berbicara, seluruh tubuhku membeku dalam pelukan orang yang sangat ku rindukan. Hampir 5 tahun kami tak berjumpa, tak bicara.Kami terpisah jarak dan hati. Sampai hampir ku tak mengenali wajahnya. Ku berjalan masuk rumah, dan kembali ku di peluk oleh Uwa Wiwi. Ku dengar lirih isak tangis seraknya. Lalu ku bersalama dengan seorang wanita yang belum ku kenal, ternyata ia adalah Yuliana, istri ayahku, atau lebih tepatnya ibu tiriku. Beberapa saat kami semua berbincang-bincang. Sampai ku ceritakan sekelumit kisah hidupku dan beberapa prestasi akademik di sekolah, meski pipi ini masih basah oleh air mata. Lalu ku dengar Uwa Wiwi bercerita.
            “Sep, kamu sudah tahu apa belum?” Tanya Uwa Wiwi padaku.
            “Tentang apa Uwa?” aku balik bertanya.
            “ Uwa Kubil sudah meninggal sekitar 2 tahun lalu. Jadi uwa Rukiyah menjanda. Lalu Ibunya si Untung Ibu Sarkawi juga meninggal. Lalu Uwa Rukiyah dengan bapanya Untung mang Wakib.” Cerita Uwa.
            “Inna Illahi Wa Inna Illahi roji’un. Saya turut berduka, Uwa. Mang Kubil meninggal kenapa,Uwa?”aku bertanya.
            “Iya, Uwa Kubil sudah tua dan jatuh sakit. Sekarang Uwa Rukiyah tinggal di rumah ini ”. Ku dengar jawaban Uwa serak.

            Bagai disambar petir aku mendengar berita itu,sungguh sangat terkejut. Orang yang aku sayangi, satu demi satu pergi tanpa sepengetahuanku. Dulu saat aku tak sengaja singgah kemari bersama eyang Jumedi, mendatangi rumah ini 2 tahun lalu, kuketuk pintu rumah dan kuucapkan salam. Tidak ada yang menyahut,sampai beberapa kali kuulangi.
            “Rumahnya nggak ada penghuninya, Sep!” Sahut seseorang dibelakangku. Segera aku dan eyang menoleh ke belakang,kulihat seorang perempuan tua yang tak begitu kukenal namun kutahu ia warga sekitar sini.
            “Memang kamu belum tahu,Sep, kalo nenek kamu sudah meninggal?” Tanya perempuan tua itu.
            Aku tak mempercayai celoteh itu sebelumya, lantas kutanyakan padanya.
            “Benarkah,Uwa?”
            “Iya bener,Sep! Sekarang rumah ini nggak ada yang menghuni, udah kamu ke rumah saya dulu yuk! Saya ceritakan di dalam.”
            Beberapa meter ku melangkah ke rumah perempuan tua itu. Dihidangi beberapa makanan dan minuman, lalu,ia memulai ceritanya.
            “Nenek kamu itu meninggal sekitar dua tahun lalu,Sep.”
            “Tepatnya kapan ya,bu?” Tanya Eyang Jum.
            “Ya sekitar bulan Agustus lalu lah.”Jawabnya. Aku mulai percaya padanya.
            “Meninggalnya sih di Jakarta, katanya di rumah bapa kamu, trus dibawa lagi dan dimakamkan di sini.”
            “Inna Illahi Wa Inna Illaihi Roji’un”. Aku baru percaya. Aku pun sangat terpukul mengetahuinya.
            “Jadi rumah sebelah nggak ada penghuninya ya,bu?” Tanya eyang Jum.
            “Iya,rumahnya dibiarin begitu aja nggak dihuni. Kunci rumahnya dipegang bu Iroh kalo kamu mau masuk. Kalo kamu mau ke makam nenek nanti saya antar.”
            “Bagaimana,Sep,sambil menghantarkan do’a buat Alm nenek?” eyang mendukung.
            “Tidak usah Eyang,Uwa.” Aku sungguh belum dapat menerima kenyataan ini.
            Menjelang hari yang beranjak sore, kami berpamitan pulang pada perempuan ini. Kami takut pulang kemalaman di jalan menuju Pekuncen. Kami pun pulang membawa berita duka yang begitu mendalam dan pedihyang menusuk hati.
            Begitulah cara tragisku mengetahui kepergian orang-orang yang sangat kusayangi. Bertahun-tahun, baru ku mengetahui kepulangan mereka ke Rahmatullah, Allah SWT tidak menghendaki aku untuk melihat Alm. Nenek Saryamah dan Alm. Uwa Kubil tuk terakhir kali sebelum liang lahat menyelimuti mereka. Setiap tahun saat moment Lebaran Idul Fitri, aku dari Pekuncen, Uwa Kubil dan Uwa Ru dari Jakarta mudik menuju rumah tua ini untuk berkumpul melepas kerinduan pada nenek Saryamah. Kami menghitung bersama celengan recehan Uwa Kubil hasil ngojeknya lalu diberikan padaku. Sungguh begitu indah dikenang, sampai Uwa Kubil mengajakku pergi ke pemandian air panas Buaran, yang membuat memar kakinya karena terjatuh. Uwa Kubil dan Uwa Rukiyah menganggapku sebagai anaknya,karena mereka memang tidak dikaruniai anak selama puluhan tahun berkeluarga. Aku sangat kehilangan mereka, ku berdo’a agar Allah menempatkan mereka di sisi terbaik-Nya. Sesuai amal perbuatannya di dunia.


∞   ∞
            Menjelang sore setelah Uwa Wiwi bercerita padaku, ayah mengajakku mengunjungi makam Nenek Saryamah. Dengan menaiki sepeda motor, tak lama kami sampai dan kami duduk di depan makam Nenek.
            “Sep, ayah minta maaf sama kamu, ayah ngga pernah mengunjungi kamu disana,ayah ngga pernah pedulikan pertumbuhan kamu,ayah tidak mempedulikan kebutuhan kamu,ayah ngga bisa mengasuhmu,mendidikmu….” Ayah bersimpuh padaku.
            “Nggak apa-apa kok,Yah. Septi bisa ngerti”. Jawabku pelan.
            “Kamu harus tahu,Sep.Ayah sibuk bekerja.Ayah disana juga hidupnya pas-pasan. Kadang untuk membelikanmu baju lebaranpun ayah harus memaketkan lewat pos,Jadi nggak bisa berkumpul sama kamu sekeluarga di sini.”
            Sejenak kami membisu.
            “Ini semua salah Ayah. Ayah,kamu dan Mama Susi tidak bisa bersatu,berkeluarga karena kesalahan Ayah. Ayah juga tidak mengharapkan perceraian kita terjadi, tapi ini pasti yang terbaik buat ayah Dan mama kamu.”
            “Septi tahu,Yah.”
            “Dulu waktu,kami bercerai, Septi masih kecil, kami memang memiliki perbedaan dan tak bisa bersatu. Ayah sekarang sudah menikah dengan Mama Yuli, ayah yakin dia wanita yang baik. Kami hidup bahagia apa adanya. Septi sekeluarga di sana keadaanya bagaimana?”
            “Baik,Yah.” Jawabku berat. Aku menilai, Ayah tak berhak tanyakan keaadaanku, karena ayah tak pernah pedulikannya.
            “Ya,alhamdulillah. Mama Susi,trus kakek nenek disana pasti pada benci sama ayah ya?”
            “Tidak kok.Yah. Tentu tidak”
            “Apa mereka memaafkan kesalahan ayah,dan tak memiliki dendam dendam pada ayah?”

“Aku tahu mereka telah memaafkan ayah dan tak memiliki dendam pada ayah. Pasti,Yah!” Aku sedikit berbohong pada  ayah, memang ibu dan kakek nenekku tak lagi dendam padanya, namun mereka tentu sangat kecewa pada ayah. Ayah tak sedikitpun memperhatikan aku,kehidupanku,dan kebutuhanku. Tiap kali nenek yang mengasuhku menggerutu, pasti ia menimpakan kekesalannya juga pada ayahku,”Seandainya ayahmu membantumu menunjang biaya pendidikanmu..”.
            Ku pandangi raut wajah ayahku, tersirat di wajahnya sebuah kesedihan,penyesalan,kekecewaan, beliau memang bukan sosok ayah yang aku harapkan,yang aku impikan, ia ayah yang tak bertanggungjawab pada anaknya. Tetapi di hatiku, ia adalah sosok yang tak mampu ku gantikan dengan apapun.
            “Dulu sebelum nenek meninggal, ia mendatangi rumah Kakek Rasun, ia utarakan semi dendam yang ia pendam, tentu nenek dendam pada kakek Rasun, karena kakek Rasun yang tlah lama bercerai dengan nenek, kakek Rasun benar-benar mencampakannya, ia tak memperhatikan anak-anaknya. Aku pun tak ingin seperti itu, Sep!Aku tak bermaksud mencampakkanmu…”
            “Lalu mengapa ayah tak mengabariku saat nenek wafat?” Aku bertanya dengan nada kecewa.
            “Ya,ayah tentu sangat terkejut dengan kematian nenek, ayah pun tak sempat mengabarimu..” Jawab ayahku berkilah.
            “Oya,nenek meninggal kenapa?”
            “Nenek meninggal karena komplikasi penyakit jantung dan diabetes. Nenek meninggal di Cikampek, di rumah ayah, mungkin ia sangat kesepian hidup disini sendiri,ia mengunjungi saya sekeluarga sampai akhirnya meninggal disana. Lalu kami membawanya pulang dan memakamkannya disini. Ia memendam dendam dan kesepian yang tak terbalas sampai akhir hayatnya.”
            Aku merenung dalam, ku bertanya mengapa Allah menakdirkan akhir cerita nenek dengan seperti ini.
            Kami terdiam. Merenungi sadisnya takdir perpisahan ini.
            “Sekarang mari kita berdo’a bersama supaya Alm. Nenek bisa tenang di sisi-Nya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT . Mari berdo’a, Sep!”
            Kami mengantarkan do’a pada nenek. Hening sejenak mengantarkan do’a kami.
            “Sudah, mari pulang ke rumah, Sep!”. Ayah mengajakku.
            “Mari,Yah”.


            ∞   ∞

Menjelang petang, para tetangga pria sekitar berdatangan untuk mengadakan tahlilan 2 tahun nenek Saryamah wafat. Ku pandangi ayahku yang sibuk menyambut para tamu. Pembicaraan kami sore tadi, pembicaraan antara seorang ayah dan anaknya yang lama terpisah, sungguh terus membayang di pikiranku. Tak pernah memang kami berbicara sedekat itu, sungguh menghanyutkan perasaanku. Kini, setelah pembicaraan itu, aku bisa melepas sebagian rasa dendam,rasa kecewa dan amarahku pada ayah yang selama ini terus bersemayam. Di mataku, kini ia adalah orang yang sangat ku sayangi, sungguh sangat ku sayangi,aku ingin selalu berada di sisinya,berada di dekatnya. Walau aku tahu keinginanku tak mungkin tercapai. Karena ayah telah hidup bahagia bersama orang-orang yang ia cintai. Aku hanya bisa berharap, semoga ayah menyisakan sedikit cintanya padaku, buah hatinya. Buah hati yang selalu merindukannya, buah hati yang harus menjadi korban, terhempas badai perceraian. Sungguh, aku tak mampu hidup tanpa cintanya, cintanya-lah yang melahirkanku ke bumi.
            Acara tahlilan pun di mulai, ku mengikuti bacaan-bacaan do’a semampuku, aku tak begitu fasih. Namun hatiku sangat menghayatinya. Mataku terpejam melafalkan do’a demi do’a. sampai akhirnya do’a tahlilan selesai. Para warga menyantap hidangan. Menjelang malam para warga kembali ke rumah dengan oleh-oleh seadanya. Aku sempatkan bermain bersama Tegar, putra ayahku, atau lebih tepatnya adik tiriku. Di malam yang makin larut kami bercengkerama. Menyantap hidangan  makan malam dengan keceriaan. Sempat terbayang olehku, seandainya Alm Nenek berada di tengah-tengah kebahagiaan kami. Seandainya aku dan ayahku bersama sebagai keluarga yang utuh dengan ibuku…
            Hari yang melelahkan ini ku tutup dengan istirahat bersama ayah-sekeluarga. Malam kami habiskan dengan mimpi indah kami masing masing.
            Pagi ini aku, Uwa Wiwi dengan diantar Ayah mengunjungi rumah Kakek Rasun. Bertiga menaiki sepeda motor dengan jalanan yang rusak,akhirnya kami sampai di Bangkong. Warga sekitar sini memang warga pindahan dari Banyumas sehingga bahasa mereka adalah bahasa Jawa bercampur Sunda. Rumah Kakek terbilang besar, sekarang beliau menjabat sebagai kepala desa Bantarwaru.
            Kakek Rasun beserta istrinya menyambut hangat kedatangan kami. Sejenak kami berbincang-bincang dan bersilaturahmi. Kakek Rasun nampak senang bertemu dengan anak-anaknya yang kini telah mapan. Beliau bangga dengan ayahku yang kini telah menjadi kepala perusahaan tekstil milik pak Lukas. Pak Lukas adalah majikan keluargaku semenjak aku kecil sampai ayah memiliki keluarga lagi.
            Kami saling berbagi cerita, layaknya sebuah keluarga yang lama tak berjumpa,tentu memiliki pengalaman sendiri-sendiri. Kami memang lama tak bertemu, terakhir saat Kakek terpilih menjadi kepala desa Bantarwaru,kami mengunjunginya.
            Siang harinya kami pun kembali dari Bangkong. Aku pun bersiap untuk pulang ke Banyumas selepas pulang dari Bangkong. Sempat ayah bertanya padaku dengan siapa aku akan pulang. Lalu ku sampaikan pesan ibu, aku tak boleh pulang jika bukan ayah yang mengantarku sampai rumah di Petahunan. Ayah pun bersedia mengantarkanku. Kami pulang sekitar pukul 2 siang. Dalam perjalanan, tanpa terasa air mataku terjatuh. Ku tahu setelah perjalanan ini aku harus berpisah lagi dengan orang yang selalu ku rindukan. Aku seakan menyalahkan takdir, mengapa perceraian ini harus terjadi, dan aku harus menjadi korbannya. Di sisa waktuku bersama ayah, ku dekap ia erat-erat, ku teteskan air mata tanpa sepengetahuannya. dihembus angin jalanan menelusuri waktu yang seakan begitu singkat. Seperti saat dulu kami berjumpa, ayah menyempatkan diri membelikanku tas, tas itu akan menjadi benda kenangan yang akan sangat berarti bagiku.
            Beberapa waktu kemudian, sampailah kami di rumah. Ayah kembali berjumpa dengan ibuku. Kulihat mereka bertatapan. Kami bertiga dulunya adalah sebuah keluarga. Dulu……dulu sekali. Kemudian kami menemui kakek Dan nenek yang selama ini mengasuhku.  Kulihat mereka sangat akrab tanpa ada dendam. Lalu sebuah pertanyyan melayang..
            “Udah lama sekali kamu tidak kesini ya, Do,” Kakek berceloteh.
            “Iya, kek, tapi sebenarnya hati saya selalu disini.” Ayah menjawab.
            Kami semua tertawa mendengar jawaban itu. Namun aku begitu memaknai pernyataan ayah itu. Kini aku tahu, ayah masih Dan selalu mencintaiku. Kini aku bisa tenang, walau tak bisa bersamanya, hatiku ingin selalu lekat terikat dengan hatinya.
            Hari beranjak sore, ayah berpamitan pulang.
            “Saya pulang, kakek. Saya titip Septi. Mohon dijaga”
            “Iya,iya. Hati-hatilah, nak.”
Aku menyalami ayah. Ku coba menguatkan hati. Ayah memacu sepeda motornya, aku menatapi kepergiannya, hingga tak terlihat lagi. Selamat jalan ayah, aku akan selalu setia menantimu. Dan aku ingin kau tahu, aku sangat mencintaimu, sangat… untuk selamanya….


0 comments:

Post a Comment

About this blog

When one door closes, another one opens; but we so often look so long and so regretfully upon the closed door, that we do not see the ones which open for us

Alexander Graham Bell

Pages

Total Pageviews

take a look!

Septian Slideshow: Septian’s trip from Purwokerto, Jawa, Indonesia to Semarang was created by TripAdvisor. See another Semarang slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

"Some people are so afraid to die that they never begin to live." -Henry Vandyke (1852-1933)

be the followers

time is precious

Blog List

Assalamu'alaikum

Welcome to my virtual world!

Thanks for visiting my blog

change the language

中文(简体) Português English (US) Français Deutsch Italiano 日本語 한국어 Русский Español

Where did the visitors come from?