Setiap ada angin berhembus kencang, yang membuat pohon-pohon Alghatis alba bergoyang, lalu dahan dan ranting yang mengering patah dan jatuh. Mereka berlarian kegirangan menyambutnya. Tubuh-tubuh kecil menyeruak di antara pohon Amomum cardamomum, di tengah deru angin yang mengancam. Ranting-ranting itu bagaikan tetes-tetes air hujan di tengah kemarau, hingga tubuh-tubuh kecil itu memperebutkannya. Derap langkah lari beserta sorak girang mereka mampu mengalahkan gemuruh angin senja. Tangan-tangan berdebu menggenggam berkah dari langit itu, berlari kesana kemari memunguti ranting-ranting kering dan kecil. Tak jarang mereka saling berebut, terlontarlah kata-kata yang berselisih, disusul suara ‘krek’, tanda ranting patah untuk dibagi. Tangan-tangan berdebu itu kini telah terisi.
Tubuh-tubuh kecil kembali menyeruak keluar dari kerumunan pohon Amomum cardamomum yang jelas lebih tinggi dari mereka. Lalu diletakannya ranting kering itu di tanah yang lapang. Ranting yang terlalu panjang dipatahkan, yang mencuat ke samping pun dipatahkan, hingga suara-suara ranting patah saling bersautan. Lalu tubuh-tubuh kecil itu kembali berdiri tegak menghadap pepohonan, menunggu gemuruh angin dan ranting berjatuhan memanggil mereka kembali. Mereka kembali berlarian, menghilang di antara pepohonan, dan kembali muncul menggenggam ranting seperti hendak menghunuskan tombak.
Tanpa pamrih. Aku tahu, dan aku sangat yakin, anak-anak laki-laki di Petahunan yang mayoritas berasal dari kalangan penderes tidaak pernah disuruh orang tuanya untuk repek. Aku tidak tahu, apakah mereka menantang maut yang dibawa angin hanya untuk memungut ranting kering dikarenakan dorongan nurani dari hati kecil mereka. Mungkin. Atau pemahaman dan empati terhadap kultur dan dialektika kehidupanlah yang memotivasi mereka. Pikiran mereka sedang tumbuh serupa pohon-pohon kecil, lalu dedaunan rontok dari rantingnya. Repek adalah hal yang begitu sederhana, walaupun ranting-ranting hasil repek tidaklah seberapa untuk mengganjal pawon yang menyulap nira hasil sadapan penderes, menjadi bongkah-bongkah gula merah yang menghidupi mereka; kaum penderes.
Tetapi kegirangan tubuh-tubuh kecil itu, semangat mereka, ketulusan mereka adalah refleksi dari kesadaran dan kepedulian, bahkan penghargaan bagi sumber-sumber pengharapan dari setiap hari hidup mereka.
Repek adalah gerak reflek dari rangsangan syaraf tak sadar yang menyadari akan kewajiban mereka sebagai anak penderes, meski penderes itu sendiri tak pernah mewajibkan putranya untuk repek. Repek adalah perwujudan dari rasa syukur seorang anak manusia dan kecintaannya pada kehiduapan yang menggariskan mereka pada jalan untuk membakar getah Cocos nucifera menjadi bongkah-bongkah bumbu pemanis yang memberi mereka kebahagiaan. Mereka bangga pada jalan hidupnya. Mereka menyumbangkan ranting-ranting kering untuk berpartisipasi dalam perjuangan orang tuanya mempertahankan hidup mereka, sebagai pengejawantahan semangat mereka.
0 comments:
Post a Comment